Wednesday, May 17, 2006

Keindahan

Inna Allaha jamil, wa yuhibbu al-jamal

Allah indah, dan menyukai keindahan. Ungkapan simpel tersebut sangat akrab di telinga kita. Manusia, tentu saja juga memiliki kecenderungan menyukai keindahan, dalam berbagai aspeknya. Seni adalah keindahan. Islam mencintainya.

Alquran datang sebagai sesuatu yang indah, lebih dari puisi, di tengah budaya sastra yang tinggi di kalangan bangsa-bangsa Arab. Sunan Kalijaga mengislamkan tanah Jawa dengan wayang dan gamelan, hingga melahirkan istilah-istilah Islam-Jawa, semisal jimat kalimosodo (kalimat syahadat). Para ahli tarekat bernyanyi dan menari untuk mendekat kepada Sang Kuasa.

Lalu apa yang salah dengan seni? Apa yang salah dengan musik? Sebagai sebuah sarana, alat, ia bersifat netral. Puisi, ritme musik dan lagu, gerak tari, lukisan, atau apapun yang bernilai estetik, adalah ruang kosong. Ia menyimpan energi kesalehan, sekaligus energi kemaksiatan. Ia hanyalah sebagian dari ribuan, miliaran, sesuatu yang bernama “sesuatu”.

Keindahan menjadi bermakna ketika ruang kosong itu dipenuhi dengan energi kesalehan. Ia bisa menjadi alat menuju ke hadirat-Nya. Ia bisa menjadi penanda betapa agungnya Sang Maha Pencipta.


Tulisan ini dibuat untuk editorial al-Tasamuh, 2002

Friday, May 12, 2006

Jual Ayat

Karena mayoritas penduduk Indonesia memilih Islam sebagai agamanya, maka ketika kita bertanya pada petinggi partai buruh, partai golkar, pdip, atau bahkan partai sosialis sekalipun; “Apa agama mayoritas anggota partai mereka?”, niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang sama: Islam.

Alquran adalah bagian dari rukun Islam. Ia menjadi landasan dan pijakan sejarah serta perilaku moral umat Islam. Dalam kehidupan keseharian, ayat-ayat di dalamnya mempunyai kekuatan teologis dan daya rekat keislaman yang kuat. Pada titik tertentu, orang yang berbicara dan berargumen disertai ayat Alquran otomatis dianggap sebagai kebenaran. Ayat memiliki tuahnya di kalangan umat.

Posisi ayat Alquran yang demikian kemudian banyak disalahgunakan oleh banyak pihak untuk mendukung dan menjustifikasi kepentingan sempit mereka, termasuk dalam hal ini adalah partai politik peserta pemilu. Banyak partai memakainya untuk mengangkat kebenaran sepihak sebagai kebenaran tunggal. Banyak partai menggunakan ayat untuk menyatakan bahwa ia lebih Islam dari partai lain. Banyak partai mendatangi pesantren dan mencari dukungan kyai-kyai untuk menciptakan kesan punya kedekatan dengan kalangan Islam. Tujuannya cuma satu: meraih suara sebanyak-banyaknya di kalangan umat Islam.

Mereka lupa, masyarakat kita punya kecerdasannya sendiri. Masyarakat kita mampu membedakan mana perilaku yang benar dan mana yang manipulatif. Mereka abai bahwa tindakan jual ayat dan sikap “sok-Islam” mereka justru bisa dinilai merusak citra Islam yang luhur, dan menodai sosok agung kyai yang berdiri di atas semua golongan dan lapisan, rahmatan li al-‘alamin. Mereka tak sadar, keagungan Islam dan Alquran tak bisa demikian mudah dipersempit dan dimanipulasi untuk kepentingan kerdil mereka.

Tak salah jika pada akhirnya masyarakat pemilih kita justru menjauhi partai-partai yang mempersempit kepentingan Islam menjadi hanya sekadar kepentingan partai. Tak aneh jika justru perolehan suara partai yang berlabel sektarian jauh lebih kecil dibanding partai-partai yang terbuka, berdiri di atas semua golongan. Pada dasarnya tidak salah, bahkan pada titik tertentu menjadi keharusan, bagi setiap individu untuk berpolitik, minimal melek politik. Namun bukan berarti menjadi sah untuk mempolitisasi agama, memanfaatkan agama untuk kepentingan sempit politik, atau menjual ayat untuk kepentingan kampanye. Islam terlalu luhur untuk dimanipulasi. Agama terlalu luas untuk diklaim menjadi milik segolongan orang.


Tulisan ini dibuat untuk editorial buletin al-Tasamuh LS-ADI, 13 Maret 2004

Tuesday, May 09, 2006

atas nama Rakyat

hei yang di atas mimbar
hei yang berorasi di depan popor senjata
berani-beraninya engkau semua
mewakili kami
merepresentasi kami

padahal
kami tak kenal kau
kami tak butuh lantang teriakmu
kami paham betul
apa yang kami butuhkan

April 2001


Fotografer bernama Witjak