Islam, Simbol, dan Valentine’s Day
Adalah seorang Valentine, pastor di jaman Kaisar Claudius II di Roma, abad III. Secara diam-diam, ia menentang sang Kaisar yang dengan otoritasnya menghapuskan sebuah tradisi yang sudah berlangsung sejak jaman Romawi Kuno. Seperti kebanyakan tradisi kuno lainnya, perayaan untuk menghormati Dewa Lupercus itu diawali dengan upacara yang disebut dengan Lupercilia setiap tanggal 15 Februari. Upacara ini awalnya diadakan untuk mengusir serigala ganas yang sering muncul di sekitar kota Roma.
Salah satu persembahan mereka adalah mengadakan sebuah festival yang salah satu acaranya adalah tradisi bernama name drawing, terutama diperuntukkan oleh anak-anak muda yang masih lajang.
Festival diawali dengan menulis semua nama gadis di kota Roma pada kertas kecil dan dimasukkan ke dalam wadah kaca besar. Setelah itu, setiap lelaki lajang di Roma mengambil lembaran kertas tersebut secara acak. Nama gadis yang tertera di kertas pilihan mereka otomatis akan menjadi kekasih mereka.
Ketika Kaisar Claudius II memerintah, sang kaisar kesulitan mencari pemuda untuk dijadikan pasukan karena para lelaki di Roma lebih memilih tinggal dan berkumpul bersama orang-orang yang mereka cintai. Karena itu, sang kaisar kemudian melarang pemuda-pemuda Roma untuk menikah atau bertunangan, dan menghapus tradisi name drawing itu.
Pastor Valentine, dengan prinsip cinta kasih yang dianutnya, secara diam-diam tetap menikahkan pasangan-pasangan muda yang ingin menikah. Baginya, kasih sayang antar-manusia harus dilindungi. Cinta harus dirayakan. Baginya, kebijakan Sang Kaisar melarang pernikahan adalah melawan manusia dan kemanusiaan. Apalagi kepentingan Kaisar adalah kepentingan perang yang penuh kebencian dan pertumpahan darah.
Ulahnya itulah yang kemudian menyeretnya ke altar eksekusi mati. Ia mati 14 Februari 269 M dengan meninggalkan sepucuk surat cinta kepada seorang anak sipir penjara. Untaian cinta pada surat itulah yang membuat orang belakangan menahbiskan tanggal matinya sebagai Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day).
Belakangan valentine’s day menjadi momentum yang mendunia. Hampir di seluruh negara, hari itu menjadi saat di mana berbagi kasih dengan sesama dirayakan. Di Mesir atau sebagian negara Arab, misalnya, meski sebagian ulama melarangnya, masyarakat merayakan apa yang disebut mereka sebagai iedul hubb dan syamm al-nasim itu.
Islam dan Cinta
Cerita asal muasal valentine’s day ini menarik. Bukan hanya karena ia mengenalkan kita pada satu masa yang bagi kita sekarang ini hanya bisa dibayangkan layaknya dongeng. Bukan hanya karena cerita ini seheroik dan sedramatis Romeo and Juliet. Ia juga menarik karena justru kisah itulah yang kemudian menjadi dasar dan amunisi penyikapan terhadap perayaan Valentine.
Sebagian kalangan Islam dengan tegas mengharamkan umatnya turut merayakan Hari Kasih Sayang itu, karena merayakannya berarti mengamini ajaran Romawi Kuno, sekaligus ajaran Kristen. Merayakannya berarti mengiyakan akidah lain di luar Islam.
Bagi mereka, valentine’s day adalah simbol kekristenan. Dan simbol merepresentasikan substansi. Karena itu merayakannya berarti merayakan kekristenan. Di samping menganggap bahwa valentine’s day adalah bid’ah yang tidak ada dasar legitimasinya dalam Islam, argumen pengharaman ini terutama mendasarkan pada hadis riwayat Attirmidzi: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” Bagi sebagian ulama lain, hadis larangan meniru atau tasyabbuh ini adalah hadis yang menjustifikasi larangan taqlid (meniru sesuatu tanpa tahu esensinya). Sangat tidak produktif jika kita memakai hadis ini untuk melarang segala hal yang dating dari luar. Padahal juga, Nabi menyuruh kita untuk “mencari ilmu sampai ke China”, yang notabene bukan negara Islam. Bukankah dengan demikian Nabi menyuruh kita untuk “meniru” orang China?
Mereka lupa, Islam tidak lahir di ruang kosong. Islam tidak berawal dari titik nol. Di samping melahirkan orisinalitas dan otentisitasnya sendiri, Islam juga merebut simbol-simbol yang sudah ada sebelumnya, lalu mengisinya dengan esensi Islam, untuk tidak mengatakan “mengislamisasi” simbol-simbol itu.
Mereka lupa bahwa Islam merebut Ka’bah yang tadinya adalah simbol pemujaan berhala. Mereka lupa bahwa menara masjid berasal dari manarah (tempat menyalakan api), simbol pemujaan kaum Majusi. Mereka lupa bahwa sebelum Islam datang, puasa adalah tradisi kekristenan.
Mereka juga lupa bahwa Islam simbolik dan formalis seperti itulah yang justru membuah Muhammad Abduh dengan terpaksa harus berkata: “Saya menemukan Islam di Paris, meski tidak ada orang Islam di sana. Dan saya tidak menemukan Islam di Mesir, meski banyak orang Islam di sini.”
Lebih jauh dari itu, mereka lupa bahwa prinsip cinta, kasih dan sayang (rahman dan rahim) yang menjadi semangat valentine’s day, juga adalah prinsip Islam yang harus selalu diprioritaskan, ketimbang prinsip kebencian dan permusuhan.
Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung cinta pada sesama. Dalam Islam cinta demikian dihargai dan menempati posisi sangat terhormat, kudus dan sakral.
Islam memandang cinta kasih sebagai rahmat. Maka seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil mencintai sesamanya laksana dia mencintai dirinya sendiri (HR. Muslim). Bahkan, “sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna buat kehidupan sesamanya”, dan cinta sering kali menjadikan seorang mukmin lebih mendahulukan saudaranya daripada dirinya sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan (Al-Hasyr:9).
Di mata Islam, mencinta dan dicinta itu adalah “risalah” suci yang harus ditumbuhsuburkan dalam dada setiap pemeluknya. Dalam konteks ini, tidak ada salahnya merayakan valentine’s day.
Fakta bahwa valentine’s day identik dengan hura-hura dan pergaulan bebas, itu adalah soal lain yang merupakan konstruksi sosial belakangan, yang bagi sebagian kalangan justru mengaburkan esensi sesungguhnya. Ia sama sekali tidak bisa menjadi alasan pengharaman. Justru jika kita mampu menangkap semangat asali valentine’s day, cinta kasih antar sesama, wajib bagi kita untuk menggunakan momentum ini menjadi bagian dari misi sosial Islam.
Rasanya, Islam akan lebih berharga jika semangat mencintai dan berbagi ditebarkan, sementara semangat membenci dan memusuhi dimusnahkan. Rasanya, kemajuan peradaban Islam justru terjadi ketika Islam menjadi korpus terbuka yang siap berkompromi dengan kebaruan. Rasanya, Islam akan mampu mewujudkan misi rahmatan lil’alamin jika setiap umatnya menjadi bagian dari laskar cinta ala Ahmad Dhani:
Wahai, jiwa-jiwa yang tenang/Berhati-hati lah dirimu/Kepada hati hati yang penuh dengan/Kebencian yang dalam.
Karena, sesungguhnya iblis/ada dan bersemayam/Di hati yang penuh dengan benci/di hati yang penuh dengan prasangka.
Laskar Cinta/Sebarkanlah benih-benih cinta/Musnahkanlah virus-virus benci/Virus yang bisa rusakkan hati/Dan busukkan hati
Laskar Cinta/Ajarkanlah ilmu tentang cinta/Karena cinta adalah hakikat/Dan jalan yang terang bari semua umat manusia
Jika kebencian meracunimu kepada/kaum umat yang lainnya/Maka sesungguhnya iblis/sudah berkuasa atas dirimu
Maka jangan pernah berharap/Aku akan mengasihi menyayangi/Manusia-manusia yang penuh benci/seperti kamu.
artikel ini dimuat di uinjkt.ac.id tanggal 14 Februari 2005